Yasin, wal Qur’anil hakim

Pagi ini, dalam peristirahatan terakhir

Aku tak bisa menampakkan tubuhku pada Tasikmalaya

Tangisanmu membuat keluku terasakan

Waktu terus bergulir, biarkan bapakmu tenang

Akibat stroke mematikan kesedihanmu

Dan usaplah air matamu

Berjanjilah, dunia masih menemanimu!

Kuberikan hidupku dalam sentuhan nafas

Pita hitam tak selamanya gelap

Karangan bunga pencapaianmu untuk kedewasaan

Itu hanya hiasan dunia, intuisi menelusuri cinta

Fasubhanal ladzi biyadihi malakutu kulli syai’i wa ilaihi turja’un

Tak Hanya Warnai Ponselku

Belum tepat waktu ku merasakan semua

Ku mulai bertanya? Di balik nama itu

Tak bisa lagi terluka terhapuskan oleh dilema

Saat letihku menjelang senja kepekaan

Menghujani segala janji sisi hati relung hidupku

Uraian waktu menuntunku, membebaskan jiwa

Menyesakkan otakku oleh kehadiranmu

Menjemput naluriku untuk berjumpa

Siapa kita? Dari seberang ponsel berdering

Bukan siapa-siapa, menurutmu apa?

Kembali kubercerita padamu, dia tentu tahu

Mengertikah? Hambar tarian kesunyian mematikan rasa

Ini rahasia, jangan kau ceritakan pada malam

Karna malam belum tentu tahu, hanya dia yang mengerti

Kurajut awalan ini dalam pijakan terakhir

Pesona kala rasa tertuang dalam ponsel berdering

Setitik kedewasaan kita teruji di sini

Sebelum penyesalan dunia kembali

Bahwa kau dan aku memang ada…

Masih bertahan pada hari ini

Tanpa cinta yang kurasakan setengah tahun lalu

Imajinasi keyakinanku pada sosok kelak hadir

Belum tentu pasti kapan waktu itu?

Langit masih tinggi di angkasa

Wanita yang aku kenal di balik layar

Dalam sekedar kata-kata pelabuhan

Terhenti, jika merangkulmu untuk berdiri

Akankah sedetik kau terlambat mengerti?

Waktu akan merubah segalanya

Kalimat Tanya

Cintaku di mana akan kudapatkan..

Yang mana belum terjamah dalam belantara kasih

Kapan deritaku berakhir meninggalkanku?

Diam dalam tawa berbicaralah seadanya

Hingga tak sanggup berpatah kata

Rinduku pada wanita yang mana?

Detik ini belum berhasil menembus sukmaku

Semakin tak terkendali,hanya diriku

Seakan tak tertarik lagi pada kemilau dunia

Tunjukkan rasa cintaku, dekatlanlah dia

Keyakinanku belum ada yang terjadi

Pupus sesudah penjajakan dalam berita

Ketakutan merajut kelambu-kelambu cinta

Karna dini telah berlalu berusia sewaktu

Hidup dan Matiku

Dari perbedaan itu,
Semenjak bermimpi malam tengah bulan lebih dua hari
Melukiskan pada ingatan yang masih tertinggal
Sepertinya malaikat putih tersenyum manis: Dan!
Yang telah hilang.
Kesendirian yang terungkap,
Tak pernah berharap lagi ada penyesalan lagi untuk cintaku
Bagaikan pasir putih terhembuskan angin dari laut

Berterbangan menuju ke dermaga dekat pantai: Lalu?
Sauh terakhir yang pernah aku dengar.
Dari balai bambu pada hati yang bersinggah,
Tangan ini menggenggam kosong sangat erat terkepalkan
Setiap detik-detak jantungku berirama dengan nada sakit
Menjadi luruh bersahabat dengan tercipta rasa cinta: Siapa?
Terlambat bukan berarti hilang.

tetesan embun. 22:21